tandang nyandang kahayang
blog resmi DPC PKB SUMEDANG
7.11.12
SUSUNAN PENGURUS 2010-2015
20.9.08
RISALAH PERJUANGAN BAGI SEGENAP KADER LOYALIS GUS DUR
Disajikan oleh : Dindin C. Nurdin *)
'Musibah Politik' yang tengah kita alami bersama, sesungguhnya mengisyaratkan bahwa PKB adalah Partai yang memiliki daya pikat dan pesona politik yang menarik bagi semua kalangan, banyak yang ingin berjuang bersama PKB dengan penuh ketulusan dan berinvestasi politik bagi kejayaan partai yang di lahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama. Akan tetapi tidak sedikit kelompok/gerombolan yang tidak ridlo PKB menjadi partai primadona pada pemilu 2009, mereka menaburkan 'bumbu penyedap' kepada kader‑kader PKB yang haus kekuasaan untuk merusak PKB, sangatlah tepat apa yang disampaikan GUS DUR dalam surat pribadinya, Bagi kader partai yang sudah menggadaikan kepentingan ideologinya tidak layak untuk menjadi pengurus PKB.
Perbedaan pendapat ditubuh partai adalah hal yang lazim, insiden politik yang terjadi dari mulai; Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan Syaifullah Yusuf, semuanya dilalui tanpa merusak keutuhan partai, apalagi sampai menumbalkan kader‑kader partai di tingkat bawah, tetapi kenapa dinamika perbedaan kali ini berbuntut perselisihan panjang dan berbuah konflik nyaris tak berkesudahan. Jawabannya adalah karena NEGARA TELAH IKUT CAMPUR, PEMERINTAH SUDAH TIDAK MEMILIKI BUDAYA SUNGKAN, IKUT LARUT DALAM KANCAH URUSAN INTERNAL PARTAI.
MENKUMHAM sebagai institusi negara telah melacurkan dirinya bahkan dengan seenaknya mengobok‑obok keutuhan rumah tangga partai, Keputusan Mahkamah Agung yang nyata jelas mengembalikan kepada Muktamar Semarang telah dipelintir tanpa tedeng aling‑a!ing, KPU yang seharusnya menjadi pengawal demokrasi telah membunuh karakternya sendiri, KPU telah kehilangan wibawa dan martabatnya. Mau jadi apa republik ini kalau institusi negaranya sudah bersikap bodoh dan ceroboh..!!
Kepada segenap kader dan pemilik kepentingan strategis partai melalui risalah pejuangan ini dipermaklumkan :
1. Pernerintah melalui kaki tangannya Menkumham telah semena‑mena mengobrak‑abrik kelestarian Partai Kebangkitan Bangsa.
2. KPU telah dengan sadar mengkerdilkan eksistensi Partai.
3. Kader Partai yang pragmatis telah menjadi pengemis kepentingan sesaat dan mengorbankan ideologi partai yang menjadi haluan perjuangan Islam Ahlussunnah Waljama'ah.
HANYA SATU PILIHAN BAGI PARA PEJUANIG PENEGAK KONSTITUSI : LAWAN SEMUA PERSEKONGKOLAN YANG AKAN MENGHANCURKAN JATIDIRI PARTAI BERSAMA GUS DUR KITA HANCURKAN KEDLOLIMAN KITA KIKIS HABIS KADER PERUSAK KONSTITUSI PARTAI.
*)Dindiri C. Nurdin
Koordinator Gusdurian Network
22.7.08
Menjaga Keseimbangan NU
Oleh Rumadi*
Kala itu, meski dengan berat hati saya masih bisa menerima. Saya berpandangan ini cara HM untuk membuat keseimbangan baru di tubuh NU. Harus diakui, ketika HM menjadi Ketua Umum PB NU sejak 1999, pengaruh Gus Dur sangat kuat. Pelan-pelan dia mulai menggeser pengaruh Gus Dur di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU. HM cukup sukses melakukan hal ini. Bukan hanya menggeser orang-orang yang dianggap Gus Dur-ian, tapi juga anasir-anasir pemikiran Gus Dur mulai dipinggirkan. Sekarang ini, di tingkat pengurus cabang dan wilayah pengaruh HM cukup kuat, menggeser pengaruh Gus Dur. Hal ini antara lain bisa dilihat dari kuatnya dukungan pengurus cabang dan wilayah pada HM dalam Muktamar ke-30 lalu.
Setelah HM berhasil menggeser pengaruh, dia mulai berani secara terbuka beroposisi dengan Gus Dur. Dalam berbagai isu-isu penting, HM dan Gus Dur nyaris selalu berbeda pendapat. Bahkan, ada kawan yang berkomentar, HM sudah sampai pada taraf “asal beda” dengan Gus Dur. Dalam konteks kebangsaan, mereka berdua memang masih dalam satu suara tentang NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Tidak ada keharusan mendirikan negara Islam di Indonesia. Namun, derivasi dari masalah kebangsaan ini masing-masing punya cara pandang sendiri.
Dalam kaitan itu, tulisan ini ingin menfokuskan pada isu penting, yaitu soal penyikapan atas isu-isu keagamaan mutakhir, terutama menyangkut kekerasan atas nama agama. Sikap atas tragedi Monas bisa menjadi titik masuk.
Isu Kekerasan Agama
Karena itu, kalau boleh saya simplifikasi, penyikapan atas tragedi monas bisa menjadi sedemikian massif, terutama di wilayah Jawa, setidaknya karena dua hal: pertama, karena yang menjadi korban sebagian adalah aktifis-aktifis muda NU; kedua, karena faktor Gus Dur, terutama ucapan Rizieq Sihab yang menyakitkan itu. Saya yakin, kalau tidak ada faktor ini, tidak akan ada gerakan kantong-kantong NU melawan FPI.
Hal yang paling menarik di tengah situasi itu adalah sikap HM. Dalam konferensi pers beberapa hari setelah tragedi Monas dia mengatakan agar korban tragedi Monas tidak dikait-kaitkan dengan warga NU. Dia juga minta agar warga NU tidak dijadikan umpan untuk bertempur melawan FPI. Alih-alih memberi simpati kepada warga NU yang menjadi korban dan menghujat FPI, HM dalam pernyataan-pernyata annya justru lebih condong memberi dukungan kepada FPI. Pernyataan demikian berulang kali dia ucapkan dalam berbagai kesempatan.
Bahkan, dalam sebuah situs internet diberitakan PB NU mengirim tim yang tergabung dalam Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) NU untuk membela Rizieq Sihab. "LPBH-NU ikut sebagai bagian tim hukum yang sudah ada untuk mendampingi dan membela Habib dalam perkaranya," kata Ketua LPBH NU Sholeh Amin saat menjenguk Rizieq di Rutan Narkoba, Polda Metro Jaya (www.detik.com 9/6/2008). Sejauh ini belum ada bantahan atas berita tersebut, meskipun lewat SMS saya mendapat informasi, HM minta kepada Sholeh Amin agar menjadi pembela Rizieq atas nama pribadi, bukan atas nama NU.
Akibat sikap HM ini, sikap masyarakat NU yang sudah geram dengan FPI akibat tindakan-tindakan anarkhisnya mulai terbelah. Sebagian besar pengurus struktural NU mulai termakan dengan ucapan HM. Tragedi Monas dianggap sebagai skenario kelompok sosialis untuk membenturkan NU dengan FPI. Karena mendapat angin dari HM ini, FPI di Jatim yang sudah tertekan merasa mendapat angin. Bahkan, FPI Jember yang sudah membubarkan diri dihidupkan lagi dan mendapat support dari seorang tokoh NU Jakarta yang sengaja datang ke Jember. Demikian juga dengan FPI di Madura yang justru semakin berani “menantang” karena angin HM ini.
Sikap ini sungguh sulit diterima akal sehat. Saya tidak melihat alasan apapun dari sikap HM ini kecuali hanya ingin sekedar beda dengan Gus Dur. Anak-anak muda NU yang menjadi korban tragedi Monas dikenal sebagai aktifis yang dekat dengan Gus Dur. Harus diakui juga, gerakan massif di berbagai daerah adalah kantong-kantong pendukung Gus Dur. Sebelum simpati terhadap Gus Dur menggelinding semakin besar, tidak ada pilihan lain bagi HM kecuali harus menghambatnya. Daripada sejalan dengan Gus Dur, HM lebih memilih simpati dan “mendukung” FPI.
Menurut saya, hal ini merupakan degradasi sikap ke-NU-an yang luar biasa atas kelompok yang gemar mengumbar kekerasan. HM telah mendevaluasi kehormatan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dikenal moderat. Klaim Islam moderat dan rahmatan lil alamin yang dikampanyekan HM ke mana-mana seolah runtuh karena sikapnya ini. Posisi dia sebagai Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sama sekali tidak tercermin.
Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu yang lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan sebagainya, NU di bawah HM seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomandani MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak menjadi fundamentalis. Justru Muhammadiyah lebih kelihatan moderat.
Situasi demikian tidak bisa dibiarkan. Harus dipikirkan bagaimana menjaga kesimbangan NU, bukan hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam gerakan praksis-nya. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, NU harus meneguhkan kembali sikapnya sebagai Islam moderat. Bukan hanya dalam retorika, tapi harus dibuktikan secara konkrit. Kedua, pemimpin NU harus menjauhkan diri dari sikap “asal beda” dengan orang yang dianggap sebagai lawannya. Sikap asal beda ini sebenarnya menunjukkan bagaimana kualitas kepemimpinan seseorang, dan kita sulit mempercayai seorang pemimpin yang mempunyai karakter demikian. Ketiga, sudah saatnya, kader-kader NU di berbagai lapisan mulai memikirkan mencari figur pemimpin yang berani “pasang badan” untuk menjaga kehormatan NU.[]
*Penulis adalah Peneliti the Wahid Institute, Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta